Pages

Sabtu, 24 Juli 2010

Kepribadian QUR'ANI



                                          Penulis :   Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA

A. Tentang kepribadian
Personality is the dinamic organization within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustments to his environment (Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang menentukan caranya yang khas (unik) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Segala tindakan manusia, baik positif maupun negative, tidak lepas dari dorongan atau pengaruh kepribadiannya. Tindakan-tindakan manusia pastinya merupakan refleksi dan manifestasi sifat-sifat kepribadiannya itu.
Manusia yang mempunyai kepribadian seimbang dan produktif dicirikan dengan sejumlah karakter pembentuk simbol proses realisasi potensi yang terpendam dan bersifat fitrah dalam diri. Abraham Moslow berpendapat, seseorang tidak dapat mengaktualisasikan diri sebelum ia mempunyai sarana yang cukup untuk memberi kepuasan terhadap tuntutan fisiologis, rasa aman, afiliasi, pengakuan dan penghargaan. Moslow mendeskripsikan pribadi yang dapat mengaktualisasikan diri, sebagai berikut :
1. Dapat menerima dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitar.
2. Berpandangan relistik.
3. Banyak bersikap pasrah (pasif).
4. Berorientasi pada problem-problem eksternal, bukan pada dirinya.
5. Mengapresiasi kebebasan dan kebutuhan akan spesialisasi.
6. Berkepribadian independen dan bebas dari pengaruh orang lain.
7. Mengapresiasi segala sesuatu secara progresif, tidak terjebak pada pola-pola baku.
8. Integratif dan akomodatif terhadap semua kalangan.
9. Hubungan dengan orang lain sangat kuat dan mendalam, bukan sekedar formalitas.
10. Arah dan norma demokratisnya diliputi oleh sikap toleran dan sensitivitasnya.
11. Tidak mencampuradukkan antara sarana dan tujuan.
12. Gemar mencipta, berkreasi, dan menemukan penemuan-penemuan dalam skala besar.
13. Menentang ketaatan dan kepatuhan buta terhadap budaya.
14. Berjiwa riang secara filosofis, tidak bermusuhan.
Jika seorang individu mau dikatakan mempunyai kepribadian yang bagus, ia harus menampilakan tindakan-tindakan yang bagus, sebagai manifestasi dari sifat-sifat kepribadiannya yang positif. Kepribadian yang positif meliputi : 1)Adventurous: sifat berani karena benar, 2)Energetic: bersemangat tinggi, 3)Consciention: sifat jiwa yang mendorong untuk jujur dalam bertindak, 4)Responsible: bertanggung jawab atas segala kepercayaan yang diberikan, 5)Sociable: supel dan pandai bergaul, 6)Ascendant: kecenderungan menjadi pemimpin, 7)Intelligent : cerdas, 8)Generous: berjiwa pemurah, 9)Talkactive: aktif berbicara, 10)Persistent: gigih dalam berusaha, 11)Tenderhearted: rendah hati, 12)Realible: dapat dipercaya.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyuciakan jiwa, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS, asy-Syams/91: 7-10).
Pada dasarnya, menurut tabiat dan bentuk kejadiannya, manusia diberi bekal kebaikan dan keburukan serta petunjuk dan kesesatan. Manusia harus bertanggung jawab atas anugerah yang diberikan Allah SWT berupa kemampuan memilih dan mengarahkan potensi fitri pada kebaikan dan keburukan.
Al-Qur’an mengklasifikasikan manusia berdasarkan akidah menjadi tiga kelompok, yaitu : 1)Al-Mukminun: orang-orang mukmin. “Seorang mukmin adalah pandai, cerdik, waspada, hati-hati, teguh, pemberani, tidak tergesa-gesa, berilmu, dan sederhana dalam kehidupannya (selalu takut berbuat salah dan dosa)” (HR. ad-Dailami); 2)Al-Kafirun: orang-orang kafir. Mereka tidak mempercayai akidah tauhid, para rasul dan kitab-kitab yang diturunkan, hari akhir, hari kebangkitan, perhitungan surga dan neraka; 3)Al-Munafiqun: orang-orang munafik. Kelompok manusia yang berkepribadian lemah, sikapnya tidak jelas, posisi keimanannya juga tidak jelas.
Kepribadian Qur’ani adalah kepribadian yang dibentuk dengan susunan sifat-sifat yang sengaja diambil dari nilai-nilai yang diajarkan Allah dalam Al-Qur’an, sehingga strukturnya terbangun dari elemen-elemen ajaran Al-Qur’an. Selain itu dilengkapi dengan nilai-nilai atau sifat-sifat yang diajarkan Al-Qur’an.
B. Jiwa Qur’ani
Sifat-sifat yang sepatutnya dilekatkan dalam jiwa muslim, karena sifat-sifat yang dimaksud betul-betul diajarkan Al-Qur’an dengan tujuan manusia yang menerapkannya dalam kehidupan memiliki kepribadian Qur’ani, menjadi individu yang berkualitas baik menurut pandangan Allah maupun masyarakat.
1. Jiwa yang beriman
Jiwa yang secara langsung memperoleh cahaya iman yang tertanam secara mantap di dalam hati.
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (utamanya, syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kedamaian dan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-An’am/6: 82).
Dengan demikian jiwa yang beriman ialah jiwa yang memiliki sifat-sifat utama kepribadian, yang mendorong pemiliknya memiliki semangat tinggi untuk mewujudkan hak-hak Islam, yakni segala hak yang diajarkan Islam, sehingga pemiliknya mendapat dan merasakan kehidupan yang aman dan damai serta selamat dari segala malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Jiwa yang tenang
Jiwa yang dimiliki orang-orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman, yang banyak mengerjakan amal salih dengan ikhlas dan dengan yakin optimis bahwa Allah pasti akan membalasi amal-amalnya di alam akhirat.
“Siapapun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan beramal salih, mereka mendapat ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada kecemasan akan menimpa mereka, dan juga mereka tidak bersedih” (QS. al-Baqarah/2: 62).
Jadi ketenangan itu lahir atau terjadi karena mereka telah memenuhi persyaratan-persyaratannya, yaitu: iman kepada Allah dan hari akhir, amal salih dalam arti yang luas, dan tidak terlalu terbelenggu dengan hal-hal duniawi dan mengikuti keinginan rendah yang biasanya menggagahi hati dan jiwa manusia.
3. Jiwa yang rela
Jiwa yang puas dalam menerima segala pembagian dan pemberian Allah, sehingga orang yang memilikinya merasa kaya, puas dan berbahagia.
4. Jiwa yang sabar
Jiwa yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita, sebab tiada keberhasilan yang luar biasa selain suatu cita-cita yang diraih dengan kesabaran. Sesungguhnya Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar.
Pandangan Imam Ghazali mengenai lingkup wilayah aplikasi sabar, meliputi : 1)al-shabr fi al-thaa’ah: sabar dalam terus menerus menjalankan ketaatan, 2)al-shabr’an al-ma’shiyyah: sabar dalam rangka menghindarkan diri dari maksiat, 3)al-shabr ‘ala al-mushibah: tegar dan sabar dalam menghadapi musibah.
5. Jiwa yang tawakkal
Jiwa individu yang setiap kali melakukan dan memperjuangkan sesuatu perbuatan, dipasrahkannya perbuatan itu kepada Allah, dan penuh optimisme kepadaNya bahwa amal perbuatannya akan mendapatkan balasan dari padaNya.
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya” (QS. al-Thalaq/65: 3). Dengan demikian, betapa penting posisi bertawakal kepada Allah, dan kita mendapatkan jaminan segala kebutuhan kita akan dipenuhi-Nya, amin.
6. Jiwa yang jujur
Jiwa yang mendorong tercetusnya penuturan atau perbuatan secara jujur, sesuai kata hati, tidak terbesit untuk berkata atau berbuat secara curang sehingga orang lain tidak dirugikan.
Nabi Muhammad saw memerintahkan dengan tegas : berpeganglah pada kejujuran, ketahuilah kejujuran itu akan membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke syurga. Dan jauhilah kebohongan, ketahuilah kebohongan itu akan menyeret terjadinya keburukan, dan keburukan akan membawa ke neraka.
7. Jiwa yang amanah
Jiwa yang tidak hanya jujur, teapi juga teguh untuk mengemban kepercayaan yang diberikan kepada individu, serta menyadari bahwa amanah yang diterima itu berasal dari Allah.
8. Jiwa yang syukur
Jiwa yang menjadi sumber pendorong untuk mengelola dan mensyukuri segala yang dianugerahkan Allah sesuai tuntunannya demi memperoleh keridlaanNya.
“Sekiranya kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat)” (QS. al-Nahl/16 : 18).
9. Jiwa yang cerdas
Jiwa manusia yang menjadi inspirator lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan mengasihi pihak/ orang lain, serta menghindari impuls yang meledak-ledak. Tindakan yang lahir itu muncul dari dorongan jiwa yang sangat peka dan sensitif pada lingkungan.
Orang dengan ketermpilan/ kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka.
10. Jiwa yang berani
Jiwa yang mendorong sifat keberanian dan tidak diliputi oleh rasa takut, sehingga tindakan hidup individu dinamis, penuh rasa percaya diri dan sukses serta dengan rasa aman.
11. Jiwa yang optimistis
Jiwa orang yang melihat kehidupan ini penuh peluang dan harapan, sehingga melahirkan sikap jiwa yang besar dan pikiran positif terhadap ke Maha Kuasaan Tuhan yang selalu menjamin kebutuhan-kebutuhan hambaNya.
Pikirkan keberhasilan, jangan pikirkan kegagalan. Terus menerus mengingat bahwa kita lebih baik dari yang kita pikirkan. Orang yang sukses buaknlah manusia super. Orang yang sukses tidak lain adalah orang biasa yang mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri, dan apa yang mereka kerjakan. Dan kesuksesan ditentukan oleh ukuran dari keyakinan.
12. Jiwa yang pemurah
Jiwa yang mendorong untuk suka member, menolong dan membantu orang lain yang tidak lagi dikuasai oleh sifat pelit yang merupakan suatu penyakit jiwa yang tidak baik untuk kepentingan pergaulan hidup bersama.
“Siapa yang dijaga jiwanya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. al-Hasyr/ 59: 9; al-Tagabun/ 64: 16). Al-Qur’an demikian mantap menjamin orang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi orang beruntung.
13. Jiwa yang tobat
Jiwa yang setiap kali terjadi tindakan salah menurut pandangan agama dan masyarakat, segera kembali ke jalan kebenaran dengan jalan menyesali tindakan salahnya, tidak mengulanginya, secara lestari berencana melakukan kebaikan-kebaikan, dan meninggalkan kejahatan yang dilakukan.
“Mohon ampunlah (istighfar) kepada Tuhanmu, dan bertobatlah kepadaNya, sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih”. Tobat yang dilakukan sungguh-sungguh, tentu saja diterima.
14. Jiwa yang takwa
Jiwa individu yang dalam kehidupan ini berkomitmen untuk secara sungguh-sungguh menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk yang memang dilarang Tuhan, dan melengkapinya dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkanNya.
Ketakwaan dan kesalihan akan merebak dengan suburnya disebabkan oleh dorongan kuat jiwa yang terdapat dalam diri manusia. Jiwa yang rabbaniy akan menghasilkan ketakwaannya, dan sebaliknya jiwa yang syaitaniy menghasilkan kedurhakaannya. “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya); maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (kedurhakaan) dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
15. Jiwa yang ihsan
Jiwa yang senantiasa mendorong peningkatan amal-amal lebih baik ketimbang sebelumnya dan setiap amal dikerjakan seolah-olah Allah menyaksikan kinerja yang dilakukan. Orientasi utamanya adalah peningkatan amal lebih berkualitas dan bagus, seraya Tuhan menyaksikan perbuatannya itu.
Bentuk ihsan yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an, yaitu: 1) menghindari dosa-dosa besar dan perbuatan keji, 2) takwa kepada Allah, 3) bersabar 9huud/11: 115), 4) menegakkan shalat (Luqman/31: 334), 6) meyakini akan adanya hari akhir, 7) beriman, 8) penyerahan diri kepada Allah (al-Baqarah/2: 112), 9) berjihad di jalan Allah (al-Ankabut/29: 69), 10) infak (al-Baqarah/2: 195), 11) menahan amarah (Ali Imran/3: 134).
16. Jiwa yang konsisten (istiqamah)
Jiwa yang selalu merasa sadar untuk taat asas dan berpegang teguh pada apa yang diyakini, serta berpegangan pada pedoman yang ada. Jika kebenaran agama yang diyakini, maka agamalah yang dijadikan rujukannya. Jika Tuhan yang diyakini sebagai sumber ajaran, maka tuntunan-Nyalah yang diutamakannya.
Al-Qur’an mengajarkan istiqamah kepada manusia, utamanya dalam berpegang teguh pada keyakinan akan Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, tidak aka nada rasa kuatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati” (QS. al-Ahqaf/46: 13).
17. Jiwa yang bahagia
Jiwa yang merasakan suasana baik, menyenangkan, dan menggembirakan, dimana segala yang terjadi dan dirasakan dalam kehidupan sesuai dengan keinginan yang ada.
“Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, sungguh dia memperoleh kemenangan (kebahagiaan). Sedangkan kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Ali Imran/3: 185).
C. Menghidupkan Hati
Tidak semua orang yang beragama hatinya betul-betul hidup. Ada diantaranya yang hatinya mati, seolah-olah tidak berisi apa-apa. Hati disebut mati, karena tidak mampu mendorong lahirnya tindakan-tindakan ruhaniah yang lazimnya muncul dari hati yang telah beriman kepada Tuhan.
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipakai untuk melihat …” (QS. al-A’raf/7: 179).
Menurut Al-Qur’an, dan juga hadits, seorang mukmin mestilah mengembangkan cintanya untuk Allah dan RasulNya, karena Dialah yang telah memberi segalanya dan berbuat baik sesuai dengan keputusanNya yang terbaik bagi hambaNya. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang beriman (tentunya) lebih besar cintanya kepada Allah”(QS. al-Baqarah/2: 165). Tidak hanya lebih besar, tetapi juga lebih tinggi dari cinta kepada apa dan siapa pun yang pantas dicintai di dunia ini.
Cinta kepada Allah dengan berbagai konsekwensinya merupakan sesuatu yang niscaya, tidak boleh tidak, sehingga upaya pengembangan hati menuju cinta kepada Allah pastinya merupakan upaya terpuji dan mulia. Hasinya berupa kualitas cinta di hati, yang berujung pada ketaatan yang tinggi kepadaNya.
Membuka hati untuk beriman merupakan syarat mutlak untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tanpa kerelaan diri membuka hati, mustahil seseorrang bias dekat dengan Allah, karena hakekatnya ia tidak beriman kepada Allah, karena Allah tidak pernah ada dalam hatinya; Allah belum masuk dalam kalbunya. Mana mungkin manusia yang belum beriman bias dekat dengan Allah.
Kewajiban mukmin ialah menjaga hati dan iman yang terdapat di dalamnya agar produktif menghasilkan amal-amal salih. Pada sisi lain, mukmin wajib menjaga imannya agar jangan sampai campur-aduk dengan tindakan-tindakan zhalim, baik kepada Allah, sesame manusia, lingkungan, maupun kepada diri sendiri. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur iman mereka dengan kezhaliman (terutama syirk), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk” (QS. al-An’am/6: 82). Oleh karena itu, demi kesehatan hati, yang sekaligus kesehatan si mukmin secara keseluruhan, mukmin wajib menghilangkan penyakit-penyakit hatinya, antara lain: syirk, sikap ragu (al-syakk), sombong (al-kibr), iri, dengki (al-hasad), ‘ujub, merasa diri besar (istikbar), pengecut (al-jubn), bakhil/pelit (al-syuhh), kemunafikan (nifaq), dan lain-lain penyakit hati yang mengindikasikan lemahnya keyakinan/iman.
Membersihkan hati dengan dzikrullah, dalam arti selalu mengingat Allah, akan membuat hati bersih dan sehat serta cenderung tanggap (sensitif) mendorong terjadinya amal-amal kebajikan, dan selanjutnya amal-amal kebajikan yang dihasilkan semakin memperindah kondisi hati yang dibersihkan itu. Ada suasana timbal balik antara hati dengan amal kebajikan yang dihasilkan. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka bertambah kuat imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal” (QS. al-Anfal/8: 2). Keadaan selalu ingat kepada Allah karena selalu melakukan dzikrullah merupakan rem yang paling ampuh untuk tidak terjerumus ke dalam limbah nista yang mengotori, sehingga dengan begitu dzikrullah betul-betul merupakan upaya atau cara yang paling efektif dalam proses pembersihan hati/diri.
Hati yang bersih akan menerima limpahan rahmat dan cinta Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang menerima rahmat, cinta, dan ridla Allah bukan hanya hatinya, tetapi manusia atau orang yang dalam kehidupan ini memiliki hati yang bersih.
“Orang-orang penting/ terhormat umatku tidaklah masuk surga dengan sebab banyaknya salat dan juga banyaknya puasa, tetapi yang menyebabkan mereka masuk surge adalah karena hati yang salim (bersih), kedermawanan jiwa, dan karena sifat rahmat dan kasih sayang mereka kepada kaum muslimin” (al-Hadits, dalam kitab Mukasyafat al-Qulub). Untuk mendapatkan rahmat dan surga bukanlah hanya amal ibadat saja, tetapi juga kondisi hati yang bersih-suci, kemampuan nyata dalam menyebarkan rahmat dan kasih sayang dirinya kepada orang banyak, dan jiwa yang dermawan.
Untuk meraih cinta Allah (hub Allah), kita mesti mengembangkan cinta kita kepada Allah. “Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Ali Imran/3: 31).
D. Pesan Membumikan Al-Qur’an
“. . . Dan Kami turunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri” (QS. al-Nahl/16: 89), ditambah penegasan firmanNya: maa farrathna fi al-kitab min syai’ (tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam al-kitab) (QS, al-An’am/6: 38).
Berdasarkan penjelasan di atas, apa pun yang dibutuhkan manusia dalam hidup dan kehidupannya, ada dalam Al-Qur’an. Dengan begitu, Al-Qur’an semacam kekayaan yang sempurna akan dengan mudah memenuhi segala kebutuhan manusia, dahulu, sekarang, dan nanti. Al-Qur’an telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, dan tuntunan untuk masalah mental dan moral untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Upaya manusia untuk melanggengkan Al-Qur’an dan membumikan ajarannya, bukan saja melalui upaya memelihara otensitasnya, dengan hafalan, tulisan dan rekaman tetapi juga dengan memahami pesan-pesannya yang harus disesuaikan dengan perkembangan positif masyarakat tanpa menyimpang dari teks atau keluar dari Ushuluddin (prinsip-prinsip pokok ajaran agama).
“Maka, apakah mereka tidak mendalami Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu (atau kitab apa pun) bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya” (QS. al-nisa/4: 82). Dalam Al-Qur’an tidak tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Yang cukup menonjol dari Al-Qur’an adalah al-wahdat al-qur’aniyyah (kesatupaduan Al-Qur’an), kata Sa’id Hawwa, dalam Tafsir Al-Asas.
Oleh karena itu orisinalitas Al-Qur’an tidak cukup hanya dibanggakan sebagai kitab suci yang masih asli, tetapi hendaknya juga mendorong umat Islam untuk mengamalkannya dalam hidup keseharian agar hidup ini lurus dan maju, berkemajuan berdasarkan cahaya petunjuk Allah dalam Al-Qur’an. Dan juga agar bumi yang disediakan Tuhan untuk tempat tinggal sementara manusia betul-betul diwarnai olrh pengalaman titah-titah Tuhan dalam Al-Qur’an. Alangkah indahnya keadaan bumi yang memperoleh cahaya Tuhan, baik cahaya dalam makna yang sebenarnya maupun cahaya dalam arti metafor, yakni cahaya Al-Qur’an.
Dalam tafsir Departemen Agama RI dijelaskan tingkatan-tingkatan orang mukmin yang mengamalkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Zhalimun li nafsih (orang yang zalim kepada dirinya). Maksudnya orang yang mengerjakan perbuatan wajib dan juga tidak meninggalkan perbuatan yang haram.
2. Muqtashid, yakni orang-orang yang melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan larangan-laranganNya, tetapi kadang-kadang ia tidak mengerjakan perbuatan yang dipandang sunnah atau masih mengerjakan sebagian pekerjaan yang dipandang makruh.
3. Sabiqun bi al-khairat, yaitu orang yang selalu mengerjakan amalan yang wajib dan sunnah, meninggalkan segala perbuatan yang haram dan makruh, serta sebagian hal-hal yang mubah.
Ke dalam kelompok mana pun seorang muslim masuk, tetapi yang pasti, selain nabi, semuanya belum optimal dalam melaksanakan atau membumikan Al-Qur’an. Masih banyak kesempatan dan peluang untuk mengoptimalkannya, baik dalam aspek ibadat maupun muamalat yang amat luas.