Pages

Kamis, 30 Desember 2010

PLURALISME


BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki abad 21, masyarakat telah mencapai kemegahan dunia material dan kecanggihan teknologi. Pemikiran berbagai persoalan muncul dan terus menggelinding seiring dengan dinamika masyarakat, termasuk pemikiran yang bersifat keagamaan. Saat ini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Tantangan yang kita hadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, akan tetapi tantangan pemikiranlah yang sedang kita hadapi saat ini. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran.
Tantangan yang sudah lama kita sadari adalah tantangan internal yang berupa kejumudan, fanatisme, taklid buka, bid'ah, kurafat, dan sebagainya. Tantangan eksternal yang sedang kita hadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan kita.[1] Hal ini terjadi disebabkan oleh melemahnya daya tahan umat islam dalam menghadapi glombang globalisasi dengan segala macam bawaannya.
Pada kesempatan ini, kami akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna pluralisme, yang sekarang telah berkembang dan telah merasuk kedalam wacana keagamaan. Pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga mengalami pergeseran makna menjadi pluralisme dalam arti pluralisme agama yang dapat memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralisme
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.
Menurut asal katanya pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."
Dengan begitu pluralisme dengan makna yang sebenarnya adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya KEMAJEMUKAN atau KEANEKARAGAMAN dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan yang dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan lain-lain. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama.[2]
Dewasa ini, pembahasan pluralism (kemajemukan) maknanya telah dikaburkan kaum liberal menjadi pluralisme. Salah satu yang membingungkan adalah pendefinisian pluralisme yang dimaknai sebagai bentuk sikap dari pluralitas. Dalam hal ini, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa inggris.
Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer, memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut. Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.
Dalam buku Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha menuliskan, dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan sama, dan dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the Real.” Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satusatunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).[3]
Menurut Fatwa Majlis Ulama Indonesia tentang pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surge.[4]
Pengertian pluralisme yang sekarang sedang berkembang adalah pluralisme agama, yang mempunyai anggapan bahwa semua agama adalah sama, hal inilah yang kemudian disalahgunakan oleh beberapa orang tertentu untuk merubah suatu ajaran agama agar sesuai dengan ajaran agama lain. Sehingga kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak yang menjadi polemik di Indonesia.
B. Sejarah Pluralisme Masuk ke Indonesia
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan pencerahan (enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri “Sikhisme”. Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal.
Gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaruan sosioreligius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir yang berbangsa India. Rammohan Ray (1772-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu, telah mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. Sri Ramakrishna (1834-1886), seorang mistis Bengali, setelah mengarungi pengembaraan spiritual antar agama (passing over) dari agama Hindu ke Islam, kemudian ke Kristen dan akhirnya kembali ke Hindu lagi, juga menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama sebenarnya tidaklah berarti, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya masalah ekspresi.
Bahasa Bangal, Urdu dan Inggris pasti akan mempunyai ungkapan yang berbeda-beda dalam mendeskripsikan “air”, namun hakikat air adalah air. Maka menurutnya, semua agama mengantarkan manusia ke satu tujuan yang sama, maka mengubah seseorang dari satu agama ke agama yang lain (prosilitisasi) merupakan tindakan yang tidak menjustifikasi, di samping merupakan tindakan yang sia-sia. Gagasan Ramakrishna, persahabatan dan toleransi penuh antar agama, kemudian berkembang dan diterima hingga di luar anak benua India berkat kedua muridnya, Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902).
Sen ketika mengunjungi Eropa sempat berjumpa dan berdiskusi dengan F. Max Muller (1823-1900), Bapak ilmu perbandingan agama modern di Barat, dan menyampaikan gagasan-gagasan gurunya. Vevikananda justru mempunyai justru mempunyai pengaruh lebih besar, dengan mendapatkan kesempatan menyampaikan pesan-pesan gurunya di depan Parlemen Agama Dunia (World’s Parliament of Religion) di Chicago, Amerika Serikat, tahun 1893. Upaya Swani Vevikananda tersebut telah mendapat pujian yang luar biasa dari masyarakat Hindu dan mengangkat namanya sebagai pahlawan nasional. Dengan demikian, dia berhak disebut sebagai peletak dasar gerakan, yang oleh Parrinder disebut, Hindu Ortodok Baru yang mengajarkan bahwa semua agama adalah baik dan kebenaran yang paling tinggi adalah pengakuan terhadap keyakinan ini. Menyusul kemudian tokoh-tokoh India lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishna (1888-1975) yang juga menyaruarakan pemikiran pluralisme agama yang sama.
Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas- universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam.
Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional, suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimme. Dalam Kristen memang John Hick-lah yang paling bertanggungjawab dalam menyebarkan paham pluralisme agama ini.
Kemudian, paham pluralisme agama masuk ke Indonesia pada saat cendekiawan Muslim membuka kran liberalisasi yang di usung oleh Nurcholish Madjid. Berawal dari sinilah pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama. Dengan dalih mencegah dan meredam konflik antar umat beragama. Tetapi, pluralisme agama bukanlah sekedar toleransi antar umat beragama yang sering di suarakan oleh para pendukung pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah bentuk untuk menuntut kesamaan dan kesetaraan (equality) dalam segala hal antar agama. Sehingga jika diterapkan dalam agama, akan menghilangkan istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Dari konsekuensi paham ini adalah perubahan ajaran pada tingkatan akidah.
Wacana pluralisme di tanah air tampak begitu ramai setelah MUI menerbitkan fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Dengan keluarnya fatwa tersebut, pendukung pluralisme agama di Indonesia dipukul dengan telak oleh fatwa MUI. Tetapi para pendukung pluralisme agama tidak berhenti begitu saja, ada kencenderungan mereka berubah kulit dengan istilah Abrahamic faith dan multikulturalisme. Tetapi tujuannya tetap sama dengan pluralisme atau kesetaraan.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa paham pluralisme agama bukan lahir dari kazanah ke-Indonesiaan, walaupun Indonesia memiliki kebhinekaan. Kaum pluralisme mengklaim bahwa pluralisme agama adalah bentuk menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tetapi kenyataannya adalah memaksakan kehendaknya terhadap umat beragama. Dan dari tipologi pluralisme yang ada di Indonesia adalah Transendent Unity of Religions lebih dikenal. Baik aliran global teologi atau kesatuan agama-agama adalah memiliki berbasis relativisme, teosofis dan nihilisme.
C. Faktor Timbulnya Pluralisme Agama
Faktor munculnya pluralisme agama adalah sebagai berikut.[5]
1. Keyakinan konsep ketuhanannya adalah paling benar (Truth Claim). Jika kita bandingkan dengan agama-agama langit, Yahudi, Nashrani dan Islam, maka kita temukan konsep tentang tuhan yang berbeda-beda. Yahudi memiliki konsep yang begitu rasis, sehingga Yahweh adalah tuhan “khos” bagi mereka. Nasrani memiliki keyakinan tuhan yang berinkarnasi (menitis) dalam bentuk manusia. Islam berkeyakinan Allah adalah tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh makhluk. Apalagi jika ditambah dengan berbagai agama lainnya, konsep ketuhanan ini semakin banyak ragamnya.
2. Keyakinan bahwa agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Tidak hanya agama langit, Yahudi, Nasrani dan Islam, agama-agama dunia pun meyakini jalan keselamatan ada pada agama mereka. Keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan. Penganut Yahudi merasa dirinya sebagai orang-orang yang mendapat anugerah untuk mengelola dunia. Kaum Nasrani juga memiliki keyakinan serupa. Kaum Muslim juga tidak berbeda, bahkan Al-Qur’an memberikan justifikasi bahwa mereka (kaum Muslim) adalah umat pilihan, meski tidak bisa dilupakan, bahwa Al-Quran menjelaskan syaratsyarat umat pilihan tersebut. Berdasarkan ketiga faktor ini, para penggagas pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga persepsi tentang ketuhanan, jalan keselamatan dan umat pilihan harus didefinisikan ulang, sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif.
3. Pergeseran cara pandang kajian terhadap agama. Dalam kajian agama yang seharusnya berpijak pada keyakinan, kajian ilmiah modern memposisikan agama sebagai obyek kajian yang sama sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada keraguan. Cara pandang kajian ilmiah terhadap agama yang dipenuhi keraguan bisa jadi sangat “klop” bagi agama selain Islam, namun tidak untuk Islam.
4. Kepentingan ideologis dari kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan oleh kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
D. Respon Islam Terhadap Pluralisme Agama
Sebagaimana telah dibahas dalam makalah ini, paham pluralisme agama adalah sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanyalah yang benar sedangkan yang lain salah. Kata semua agama sama, berarti ini akan berimbas pada penyamaan semua konsep-konsep dalam setiap agama-agama, baik itu konsep tuhan, ama, ilmu, dan lain sebagainya.
Padahal konsep-konsep dalam islam jauh lebih sempurna dari pada konsep-konsep dalam agama lain, ini dikarenakan islam sebagai agama penutup agama-agama dan otomatis menjadi pelengkap dan penyempurna dari konsep agama sebelumnya. Sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik.
Ia tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat. Kalaupun ada kemiripan yang mungkin ditemukan antara sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam dengan berbagai macam konsepsi agama lain, maka itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi tersebut yang merupakan suatu keseluruhan, atau super system, tidak sama antara satu dengan yang lain. Ini juga berarti bahwa tidak ada Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions).
Bahkan istilah kesatuan transenden agama-agama itu sendiri cukup menyesatkan, sebuah istilah yang boleh jadi lebih merupakan suatu motif untuk agenda terselubung, ketimbang keyakinan yang mereka percayai kebenarannya. Klaim kepercayaan yang ada pada mereka mengenai kesatuan transenden agama-agama sebenarnya merupakan hasil rekaan imajenasi induktif mereka, dan semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual belaka, bukan dari pengalaman kongkret.
Jika asumsi ini ditolak dan mengingat klaim mereka berasal dari pengalaman orang lain (bukan pengalaman sendiri), maka bisa kita katakan bahwa, perasaan kesatuan yang dialami bukanlah agama, tapi merupakan derajat yang berbeda-beda dari pengalaman religius individu yang tidak bisa digiring pada asumsi, bahwa agama-agama secara individu, yang mengalami kesatuan seperti ini, mengandung kebenaran dengan validitas yang sama dengan agama-agama wahyu pada tataran kehidupan biasa.
Allah telah menerangkan tentang dirinya sendiri dalam kitab suciNya, tentang ciptaanNya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan pada Nabi dan Rasul pilihanNya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu, telah Dia representasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat manusia dalam sebuah bentuk bahasa dengan sifat yang baru, namun bisa dipahami, tanpa ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif pribadi Nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia (yakni al-Qur’an) tidak hanya menegaskan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup substansi kitab-kitab sebelumnya, dan memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serta produk etnis tertentu.
Jadi jelaslah bahwa konsep islam tidak sama dengan konsep agama-agama yang lainnya, dengan kata lain konsep islam lebih sempurna dari konsep agama lain, dan ini berarti islam menolak pluralisme agama.
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam”
(QS Ali Imran : 19).
Dalam surat Ali-Imran (3) ayat 85 :
`tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$#
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
E. Bahaya Pluralisme
1. Penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
2. Munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.
3. Pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui isu globalisasi. Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan nilai-nilai Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan “agama baru” yang bernama pluralisme agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap menerima kapitalisme itu sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Pluralisme dengan makna yang sebenarnya adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya kemajemukan atau keanekaragaman dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan yang dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan lain-lain.
Namun, perkembangannya saat ini, pengertian pluralisme sekarang sudah mengarah ke dalam pluralisme agama yaitu suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative.
Hal ini menyebabkan pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga mengalami pergeseran makna menjadi pluralisme dalam arti pluralisme agama yang dapat memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.




[1] http://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/pluraliseme-agama.pdf
[2] http://stpakambon.wordpress.com/p-l-u-r-a-l-i-s-m-e/
[3] ttp://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/pluraliseme-agama.pdf
[4] http://www.voa-islam.com/islamia/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama/
[5] http://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/pluraliseme-agama.pdf