Pages

Kamis, 30 Desember 2010

PLURALISME


BAB I
PENDAHULUAN
Memasuki abad 21, masyarakat telah mencapai kemegahan dunia material dan kecanggihan teknologi. Pemikiran berbagai persoalan muncul dan terus menggelinding seiring dengan dinamika masyarakat, termasuk pemikiran yang bersifat keagamaan. Saat ini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Tantangan yang kita hadapi dewasa ini sebenarnya bukan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, akan tetapi tantangan pemikiranlah yang sedang kita hadapi saat ini. Sebab persoalan yang ditimbulkan oleh bidang-bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya ternyata bersumber dari pemikiran.
Tantangan yang sudah lama kita sadari adalah tantangan internal yang berupa kejumudan, fanatisme, taklid buka, bid'ah, kurafat, dan sebagainya. Tantangan eksternal yang sedang kita hadapi saat ini adalah masuknya paham liberalisme, sekulerisme, relativisme, pluralisme agama dan lain sebagainya, kedalam wacana pemikiran keagamaan kita.[1] Hal ini terjadi disebabkan oleh melemahnya daya tahan umat islam dalam menghadapi glombang globalisasi dengan segala macam bawaannya.
Pada kesempatan ini, kami akan membahas salah satu tantangan eksternal dengan memfokuskan pada makna pluralisme, yang sekarang telah berkembang dan telah merasuk kedalam wacana keagamaan. Pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga mengalami pergeseran makna menjadi pluralisme dalam arti pluralisme agama yang dapat memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pluralisme
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism.
Menurut asal katanya pluralisme berasal dari bahasa inggris, pluralism. Apabila merujuk dari wikipedia bahasa inggris, maka definisi pluralism adalah : "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation." Atau dalam bahasa Indonesia : "Suatu kerangka interaksi yg mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran / pembiasan)."
Dengan begitu pluralisme dengan makna yang sebenarnya adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya KEMAJEMUKAN atau KEANEKARAGAMAN dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan yang dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan lain-lain. Segi-segi inilah yang biasanya menjadi dasar pembentukan aneka macam kelompok lebih kecil, terbatas dan khas, serta yang mencirikhaskan dan membedakan kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Menerima kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti menyamaratakan, tetapi justru mengakui bahwa ada hal atau ada hal-hal yang tidak sama.[2]
Dewasa ini, pembahasan pluralism (kemajemukan) maknanya telah dikaburkan kaum liberal menjadi pluralisme. Salah satu yang membingungkan adalah pendefinisian pluralisme yang dimaknai sebagai bentuk sikap dari pluralitas. Dalam hal ini, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralism sebagaimana pengertian dalam bahasa inggris.
Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen Kontemporer, memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut. Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.
Dalam buku Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha menuliskan, dengan kata lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respons manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan sama, dan dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the Real.” Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama yang berhak mengklaim diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satusatunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).[3]
Menurut Fatwa Majlis Ulama Indonesia tentang pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surge.[4]
Pengertian pluralisme yang sekarang sedang berkembang adalah pluralisme agama, yang mempunyai anggapan bahwa semua agama adalah sama, hal inilah yang kemudian disalahgunakan oleh beberapa orang tertentu untuk merubah suatu ajaran agama agar sesuai dengan ajaran agama lain. Sehingga kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak yang menjadi polemik di Indonesia.
B. Sejarah Pluralisme Masuk ke Indonesia
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan pencerahan (enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri “Sikhisme”. Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal.
Gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaruan sosioreligius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir yang berbangsa India. Rammohan Ray (1772-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula pemeluk agama Hindu, telah mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. Sri Ramakrishna (1834-1886), seorang mistis Bengali, setelah mengarungi pengembaraan spiritual antar agama (passing over) dari agama Hindu ke Islam, kemudian ke Kristen dan akhirnya kembali ke Hindu lagi, juga menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama sebenarnya tidaklah berarti, karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya masalah ekspresi.
Bahasa Bangal, Urdu dan Inggris pasti akan mempunyai ungkapan yang berbeda-beda dalam mendeskripsikan “air”, namun hakikat air adalah air. Maka menurutnya, semua agama mengantarkan manusia ke satu tujuan yang sama, maka mengubah seseorang dari satu agama ke agama yang lain (prosilitisasi) merupakan tindakan yang tidak menjustifikasi, di samping merupakan tindakan yang sia-sia. Gagasan Ramakrishna, persahabatan dan toleransi penuh antar agama, kemudian berkembang dan diterima hingga di luar anak benua India berkat kedua muridnya, Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902).
Sen ketika mengunjungi Eropa sempat berjumpa dan berdiskusi dengan F. Max Muller (1823-1900), Bapak ilmu perbandingan agama modern di Barat, dan menyampaikan gagasan-gagasan gurunya. Vevikananda justru mempunyai justru mempunyai pengaruh lebih besar, dengan mendapatkan kesempatan menyampaikan pesan-pesan gurunya di depan Parlemen Agama Dunia (World’s Parliament of Religion) di Chicago, Amerika Serikat, tahun 1893. Upaya Swani Vevikananda tersebut telah mendapat pujian yang luar biasa dari masyarakat Hindu dan mengangkat namanya sebagai pahlawan nasional. Dengan demikian, dia berhak disebut sebagai peletak dasar gerakan, yang oleh Parrinder disebut, Hindu Ortodok Baru yang mengajarkan bahwa semua agama adalah baik dan kebenaran yang paling tinggi adalah pengakuan terhadap keyakinan ini. Menyusul kemudian tokoh-tokoh India lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishna (1888-1975) yang juga menyaruarakan pemikiran pluralisme agama yang sama.
Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas- universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam.
Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional, suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi bersama-sama dalam deretan nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimme. Dalam Kristen memang John Hick-lah yang paling bertanggungjawab dalam menyebarkan paham pluralisme agama ini.
Kemudian, paham pluralisme agama masuk ke Indonesia pada saat cendekiawan Muslim membuka kran liberalisasi yang di usung oleh Nurcholish Madjid. Berawal dari sinilah pluralisme dijadikan tren kehidupan umat beragama. Dengan dalih mencegah dan meredam konflik antar umat beragama. Tetapi, pluralisme agama bukanlah sekedar toleransi antar umat beragama yang sering di suarakan oleh para pendukung pluralisme agama. Pluralisme agama adalah sebuah bentuk untuk menuntut kesamaan dan kesetaraan (equality) dalam segala hal antar agama. Sehingga jika diterapkan dalam agama, akan menghilangkan istilah iman-kufur, tauhid-musyrik dan lain sebagainya. Dari konsekuensi paham ini adalah perubahan ajaran pada tingkatan akidah.
Wacana pluralisme di tanah air tampak begitu ramai setelah MUI menerbitkan fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Dengan keluarnya fatwa tersebut, pendukung pluralisme agama di Indonesia dipukul dengan telak oleh fatwa MUI. Tetapi para pendukung pluralisme agama tidak berhenti begitu saja, ada kencenderungan mereka berubah kulit dengan istilah Abrahamic faith dan multikulturalisme. Tetapi tujuannya tetap sama dengan pluralisme atau kesetaraan.
Berdasarkan uraian diatas, bahwa paham pluralisme agama bukan lahir dari kazanah ke-Indonesiaan, walaupun Indonesia memiliki kebhinekaan. Kaum pluralisme mengklaim bahwa pluralisme agama adalah bentuk menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tetapi kenyataannya adalah memaksakan kehendaknya terhadap umat beragama. Dan dari tipologi pluralisme yang ada di Indonesia adalah Transendent Unity of Religions lebih dikenal. Baik aliran global teologi atau kesatuan agama-agama adalah memiliki berbasis relativisme, teosofis dan nihilisme.
C. Faktor Timbulnya Pluralisme Agama
Faktor munculnya pluralisme agama adalah sebagai berikut.[5]
1. Keyakinan konsep ketuhanannya adalah paling benar (Truth Claim). Jika kita bandingkan dengan agama-agama langit, Yahudi, Nashrani dan Islam, maka kita temukan konsep tentang tuhan yang berbeda-beda. Yahudi memiliki konsep yang begitu rasis, sehingga Yahweh adalah tuhan “khos” bagi mereka. Nasrani memiliki keyakinan tuhan yang berinkarnasi (menitis) dalam bentuk manusia. Islam berkeyakinan Allah adalah tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh makhluk. Apalagi jika ditambah dengan berbagai agama lainnya, konsep ketuhanan ini semakin banyak ragamnya.
2. Keyakinan bahwa agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan. Tidak hanya agama langit, Yahudi, Nasrani dan Islam, agama-agama dunia pun meyakini jalan keselamatan ada pada agama mereka. Keyakinan bahwa mereka adalah umat pilihan. Penganut Yahudi merasa dirinya sebagai orang-orang yang mendapat anugerah untuk mengelola dunia. Kaum Nasrani juga memiliki keyakinan serupa. Kaum Muslim juga tidak berbeda, bahkan Al-Qur’an memberikan justifikasi bahwa mereka (kaum Muslim) adalah umat pilihan, meski tidak bisa dilupakan, bahwa Al-Quran menjelaskan syaratsyarat umat pilihan tersebut. Berdasarkan ketiga faktor ini, para penggagas pluralisme melihat konflik yang terjadi seringkali dilandasi oleh keyakinan-keyakinan internal agama itu sendiri. Sehingga persepsi tentang ketuhanan, jalan keselamatan dan umat pilihan harus didefinisikan ulang, sehingga agama tidak lagi berwajah eksklusif.
3. Pergeseran cara pandang kajian terhadap agama. Dalam kajian agama yang seharusnya berpijak pada keyakinan, kajian ilmiah modern memposisikan agama sebagai obyek kajian yang sama sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, yaitu berpijak pada keraguan. Cara pandang kajian ilmiah terhadap agama yang dipenuhi keraguan bisa jadi sangat “klop” bagi agama selain Islam, namun tidak untuk Islam.
4. Kepentingan ideologis dari kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia. Selain isu-isu demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia, pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan oleh kapitalisme global yang digalang Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam.
D. Respon Islam Terhadap Pluralisme Agama
Sebagaimana telah dibahas dalam makalah ini, paham pluralisme agama adalah sebuah paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanyalah yang benar sedangkan yang lain salah. Kata semua agama sama, berarti ini akan berimbas pada penyamaan semua konsep-konsep dalam setiap agama-agama, baik itu konsep tuhan, ama, ilmu, dan lain sebagainya.
Padahal konsep-konsep dalam islam jauh lebih sempurna dari pada konsep-konsep dalam agama lain, ini dikarenakan islam sebagai agama penutup agama-agama dan otomatis menjadi pelengkap dan penyempurna dari konsep agama sebelumnya. Sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik.
Ia tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat. Kalaupun ada kemiripan yang mungkin ditemukan antara sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam dengan berbagai macam konsepsi agama lain, maka itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi tersebut yang merupakan suatu keseluruhan, atau super system, tidak sama antara satu dengan yang lain. Ini juga berarti bahwa tidak ada Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions).
Bahkan istilah kesatuan transenden agama-agama itu sendiri cukup menyesatkan, sebuah istilah yang boleh jadi lebih merupakan suatu motif untuk agenda terselubung, ketimbang keyakinan yang mereka percayai kebenarannya. Klaim kepercayaan yang ada pada mereka mengenai kesatuan transenden agama-agama sebenarnya merupakan hasil rekaan imajenasi induktif mereka, dan semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual belaka, bukan dari pengalaman kongkret.
Jika asumsi ini ditolak dan mengingat klaim mereka berasal dari pengalaman orang lain (bukan pengalaman sendiri), maka bisa kita katakan bahwa, perasaan kesatuan yang dialami bukanlah agama, tapi merupakan derajat yang berbeda-beda dari pengalaman religius individu yang tidak bisa digiring pada asumsi, bahwa agama-agama secara individu, yang mengalami kesatuan seperti ini, mengandung kebenaran dengan validitas yang sama dengan agama-agama wahyu pada tataran kehidupan biasa.
Allah telah menerangkan tentang dirinya sendiri dalam kitab suciNya, tentang ciptaanNya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan pada Nabi dan Rasul pilihanNya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu, telah Dia representasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat manusia dalam sebuah bentuk bahasa dengan sifat yang baru, namun bisa dipahami, tanpa ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif pribadi Nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia (yakni al-Qur’an) tidak hanya menegaskan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup substansi kitab-kitab sebelumnya, dan memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serta produk etnis tertentu.
Jadi jelaslah bahwa konsep islam tidak sama dengan konsep agama-agama yang lainnya, dengan kata lain konsep islam lebih sempurna dari konsep agama lain, dan ini berarti islam menolak pluralisme agama.
¨bÎ) šúïÏe$!$# yYÏã «!$# ÞO»n=óM}$# 3
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam”
(QS Ali Imran : 19).
Dalam surat Ali-Imran (3) ayat 85 :
`tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$#
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
E. Bahaya Pluralisme
1. Penghapusan identitas-identitas agama. Dalam kasus Islam, misalnya, Barat berupaya mempreteli identitas Islam. Ambil contoh, jihad yang secara syar’i bermakna perang melawan orang-orang kafir yang menjadi penghalang dakwah dikebiri sebatas upaya bersungguh-sungguh. Pemakaian hijab (jilbab) oleh Muslimah dalam kehidupan umum dihalangi demi “menjaga wilayah publik yang sekular dari campur tangan agama.” Lebih jauh, penegakan syariah Islam dalam negara pun pada akhirnya terus dicegah karena dianggap bisa mengancam pluralisme. Ringkasnya, pluralisme agama menegaskan adanya sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
2. Munculnya agama-agama baru yang diramu dari berbagai agama yang ada. Munculnya sejumlah aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah pimpinan Mirza Ghulam Ahmad, Jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, al-Qiyadah al-Islamiyah pimpinan Ahmad Mosadeq, dll adalah beberapa contohnya. Lalu dengan alasan pluralisme pula, pendukung pluralisme agama menolak pelarangan terhadap berbagai aliran tersebut, meski itu berarti penodaan terhadap Islam.
3. Pluralisme agama tidak bisa dilepaskan dari agenda penjajahan Barat melalui isu globalisasi. Globalisasi merupakan upaya penjajah Barat untuk mengglobalkan nilai-nilai Kapitalismenya, termasuk di dalamnya gagasan “agama baru” yang bernama pluralisme agama. Karena itu, jika kita menerima pluralisme agama berarti kita harus siap menerima kapitalisme itu sendiri.
BAB III
KESIMPULAN
Pluralisme dengan makna yang sebenarnya adalah suatu paham atau pandangan hidup yang mengakui dan menerima adanya kemajemukan atau keanekaragaman dalam suatu kelompok masyarakat. Kemajemukan yang dimaksud misalnya dilihat dari segi agama, suku, ras, adat-istiadat, dan lain-lain.
Namun, perkembangannya saat ini, pengertian pluralisme sekarang sudah mengarah ke dalam pluralisme agama yaitu suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative.
Hal ini menyebabkan pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga mengalami pergeseran makna menjadi pluralisme dalam arti pluralisme agama yang dapat memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.




[1] http://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/pluraliseme-agama.pdf
[2] http://stpakambon.wordpress.com/p-l-u-r-a-l-i-s-m-e/
[3] ttp://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/pluraliseme-agama.pdf
[4] http://www.voa-islam.com/islamia/liberalism/2010/01/18/2686/fatwa-mui-tentang-pluralisme-agama/
[5] http://inzacky.indrawebmaster.com/data_ikpm/pluraliseme-agama.pdf

Sabtu, 24 Juli 2010

Kepribadian QUR'ANI



                                          Penulis :   Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA

A. Tentang kepribadian
Personality is the dinamic organization within the individual of those psychophysical system that determine his unique adjustments to his environment (Kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang menentukan caranya yang khas (unik) dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Segala tindakan manusia, baik positif maupun negative, tidak lepas dari dorongan atau pengaruh kepribadiannya. Tindakan-tindakan manusia pastinya merupakan refleksi dan manifestasi sifat-sifat kepribadiannya itu.
Manusia yang mempunyai kepribadian seimbang dan produktif dicirikan dengan sejumlah karakter pembentuk simbol proses realisasi potensi yang terpendam dan bersifat fitrah dalam diri. Abraham Moslow berpendapat, seseorang tidak dapat mengaktualisasikan diri sebelum ia mempunyai sarana yang cukup untuk memberi kepuasan terhadap tuntutan fisiologis, rasa aman, afiliasi, pengakuan dan penghargaan. Moslow mendeskripsikan pribadi yang dapat mengaktualisasikan diri, sebagai berikut :
1. Dapat menerima dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitar.
2. Berpandangan relistik.
3. Banyak bersikap pasrah (pasif).
4. Berorientasi pada problem-problem eksternal, bukan pada dirinya.
5. Mengapresiasi kebebasan dan kebutuhan akan spesialisasi.
6. Berkepribadian independen dan bebas dari pengaruh orang lain.
7. Mengapresiasi segala sesuatu secara progresif, tidak terjebak pada pola-pola baku.
8. Integratif dan akomodatif terhadap semua kalangan.
9. Hubungan dengan orang lain sangat kuat dan mendalam, bukan sekedar formalitas.
10. Arah dan norma demokratisnya diliputi oleh sikap toleran dan sensitivitasnya.
11. Tidak mencampuradukkan antara sarana dan tujuan.
12. Gemar mencipta, berkreasi, dan menemukan penemuan-penemuan dalam skala besar.
13. Menentang ketaatan dan kepatuhan buta terhadap budaya.
14. Berjiwa riang secara filosofis, tidak bermusuhan.
Jika seorang individu mau dikatakan mempunyai kepribadian yang bagus, ia harus menampilakan tindakan-tindakan yang bagus, sebagai manifestasi dari sifat-sifat kepribadiannya yang positif. Kepribadian yang positif meliputi : 1)Adventurous: sifat berani karena benar, 2)Energetic: bersemangat tinggi, 3)Consciention: sifat jiwa yang mendorong untuk jujur dalam bertindak, 4)Responsible: bertanggung jawab atas segala kepercayaan yang diberikan, 5)Sociable: supel dan pandai bergaul, 6)Ascendant: kecenderungan menjadi pemimpin, 7)Intelligent : cerdas, 8)Generous: berjiwa pemurah, 9)Talkactive: aktif berbicara, 10)Persistent: gigih dalam berusaha, 11)Tenderhearted: rendah hati, 12)Realible: dapat dipercaya.
“Demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyuciakan jiwa, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS, asy-Syams/91: 7-10).
Pada dasarnya, menurut tabiat dan bentuk kejadiannya, manusia diberi bekal kebaikan dan keburukan serta petunjuk dan kesesatan. Manusia harus bertanggung jawab atas anugerah yang diberikan Allah SWT berupa kemampuan memilih dan mengarahkan potensi fitri pada kebaikan dan keburukan.
Al-Qur’an mengklasifikasikan manusia berdasarkan akidah menjadi tiga kelompok, yaitu : 1)Al-Mukminun: orang-orang mukmin. “Seorang mukmin adalah pandai, cerdik, waspada, hati-hati, teguh, pemberani, tidak tergesa-gesa, berilmu, dan sederhana dalam kehidupannya (selalu takut berbuat salah dan dosa)” (HR. ad-Dailami); 2)Al-Kafirun: orang-orang kafir. Mereka tidak mempercayai akidah tauhid, para rasul dan kitab-kitab yang diturunkan, hari akhir, hari kebangkitan, perhitungan surga dan neraka; 3)Al-Munafiqun: orang-orang munafik. Kelompok manusia yang berkepribadian lemah, sikapnya tidak jelas, posisi keimanannya juga tidak jelas.
Kepribadian Qur’ani adalah kepribadian yang dibentuk dengan susunan sifat-sifat yang sengaja diambil dari nilai-nilai yang diajarkan Allah dalam Al-Qur’an, sehingga strukturnya terbangun dari elemen-elemen ajaran Al-Qur’an. Selain itu dilengkapi dengan nilai-nilai atau sifat-sifat yang diajarkan Al-Qur’an.
B. Jiwa Qur’ani
Sifat-sifat yang sepatutnya dilekatkan dalam jiwa muslim, karena sifat-sifat yang dimaksud betul-betul diajarkan Al-Qur’an dengan tujuan manusia yang menerapkannya dalam kehidupan memiliki kepribadian Qur’ani, menjadi individu yang berkualitas baik menurut pandangan Allah maupun masyarakat.
1. Jiwa yang beriman
Jiwa yang secara langsung memperoleh cahaya iman yang tertanam secara mantap di dalam hati.
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (utamanya, syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat kedamaian dan keamanan, dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-An’am/6: 82).
Dengan demikian jiwa yang beriman ialah jiwa yang memiliki sifat-sifat utama kepribadian, yang mendorong pemiliknya memiliki semangat tinggi untuk mewujudkan hak-hak Islam, yakni segala hak yang diajarkan Islam, sehingga pemiliknya mendapat dan merasakan kehidupan yang aman dan damai serta selamat dari segala malapetaka, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Jiwa yang tenang
Jiwa yang dimiliki orang-orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman, yang banyak mengerjakan amal salih dengan ikhlas dan dengan yakin optimis bahwa Allah pasti akan membalasi amal-amalnya di alam akhirat.
“Siapapun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan beramal salih, mereka mendapat ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada kecemasan akan menimpa mereka, dan juga mereka tidak bersedih” (QS. al-Baqarah/2: 62).
Jadi ketenangan itu lahir atau terjadi karena mereka telah memenuhi persyaratan-persyaratannya, yaitu: iman kepada Allah dan hari akhir, amal salih dalam arti yang luas, dan tidak terlalu terbelenggu dengan hal-hal duniawi dan mengikuti keinginan rendah yang biasanya menggagahi hati dan jiwa manusia.
3. Jiwa yang rela
Jiwa yang puas dalam menerima segala pembagian dan pemberian Allah, sehingga orang yang memilikinya merasa kaya, puas dan berbahagia.
4. Jiwa yang sabar
Jiwa yang tekun dan bersungguh-sungguh dalam mencapai cita-cita, sebab tiada keberhasilan yang luar biasa selain suatu cita-cita yang diraih dengan kesabaran. Sesungguhnya Allah selalu menyertai orang-orang yang sabar.
Pandangan Imam Ghazali mengenai lingkup wilayah aplikasi sabar, meliputi : 1)al-shabr fi al-thaa’ah: sabar dalam terus menerus menjalankan ketaatan, 2)al-shabr’an al-ma’shiyyah: sabar dalam rangka menghindarkan diri dari maksiat, 3)al-shabr ‘ala al-mushibah: tegar dan sabar dalam menghadapi musibah.
5. Jiwa yang tawakkal
Jiwa individu yang setiap kali melakukan dan memperjuangkan sesuatu perbuatan, dipasrahkannya perbuatan itu kepada Allah, dan penuh optimisme kepadaNya bahwa amal perbuatannya akan mendapatkan balasan dari padaNya.
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan)nya” (QS. al-Thalaq/65: 3). Dengan demikian, betapa penting posisi bertawakal kepada Allah, dan kita mendapatkan jaminan segala kebutuhan kita akan dipenuhi-Nya, amin.
6. Jiwa yang jujur
Jiwa yang mendorong tercetusnya penuturan atau perbuatan secara jujur, sesuai kata hati, tidak terbesit untuk berkata atau berbuat secara curang sehingga orang lain tidak dirugikan.
Nabi Muhammad saw memerintahkan dengan tegas : berpeganglah pada kejujuran, ketahuilah kejujuran itu akan membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan membawa ke syurga. Dan jauhilah kebohongan, ketahuilah kebohongan itu akan menyeret terjadinya keburukan, dan keburukan akan membawa ke neraka.
7. Jiwa yang amanah
Jiwa yang tidak hanya jujur, teapi juga teguh untuk mengemban kepercayaan yang diberikan kepada individu, serta menyadari bahwa amanah yang diterima itu berasal dari Allah.
8. Jiwa yang syukur
Jiwa yang menjadi sumber pendorong untuk mengelola dan mensyukuri segala yang dianugerahkan Allah sesuai tuntunannya demi memperoleh keridlaanNya.
“Sekiranya kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat)” (QS. al-Nahl/16 : 18).
9. Jiwa yang cerdas
Jiwa manusia yang menjadi inspirator lahirnya tindakan-tindakan yang tepat untuk menyayangi dan mengasihi pihak/ orang lain, serta menghindari impuls yang meledak-ledak. Tindakan yang lahir itu muncul dari dorongan jiwa yang sangat peka dan sensitif pada lingkungan.
Orang dengan ketermpilan/ kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka.
10. Jiwa yang berani
Jiwa yang mendorong sifat keberanian dan tidak diliputi oleh rasa takut, sehingga tindakan hidup individu dinamis, penuh rasa percaya diri dan sukses serta dengan rasa aman.
11. Jiwa yang optimistis
Jiwa orang yang melihat kehidupan ini penuh peluang dan harapan, sehingga melahirkan sikap jiwa yang besar dan pikiran positif terhadap ke Maha Kuasaan Tuhan yang selalu menjamin kebutuhan-kebutuhan hambaNya.
Pikirkan keberhasilan, jangan pikirkan kegagalan. Terus menerus mengingat bahwa kita lebih baik dari yang kita pikirkan. Orang yang sukses buaknlah manusia super. Orang yang sukses tidak lain adalah orang biasa yang mempunyai keyakinan pada dirinya sendiri, dan apa yang mereka kerjakan. Dan kesuksesan ditentukan oleh ukuran dari keyakinan.
12. Jiwa yang pemurah
Jiwa yang mendorong untuk suka member, menolong dan membantu orang lain yang tidak lagi dikuasai oleh sifat pelit yang merupakan suatu penyakit jiwa yang tidak baik untuk kepentingan pergaulan hidup bersama.
“Siapa yang dijaga jiwanya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. al-Hasyr/ 59: 9; al-Tagabun/ 64: 16). Al-Qur’an demikian mantap menjamin orang pemurah, bahwa ia akan berubah menjadi orang beruntung.
13. Jiwa yang tobat
Jiwa yang setiap kali terjadi tindakan salah menurut pandangan agama dan masyarakat, segera kembali ke jalan kebenaran dengan jalan menyesali tindakan salahnya, tidak mengulanginya, secara lestari berencana melakukan kebaikan-kebaikan, dan meninggalkan kejahatan yang dilakukan.
“Mohon ampunlah (istighfar) kepada Tuhanmu, dan bertobatlah kepadaNya, sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih”. Tobat yang dilakukan sungguh-sungguh, tentu saja diterima.
14. Jiwa yang takwa
Jiwa individu yang dalam kehidupan ini berkomitmen untuk secara sungguh-sungguh menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk yang memang dilarang Tuhan, dan melengkapinya dengan melaksanakan hal-hal yang diperintahkanNya.
Ketakwaan dan kesalihan akan merebak dengan suburnya disebabkan oleh dorongan kuat jiwa yang terdapat dalam diri manusia. Jiwa yang rabbaniy akan menghasilkan ketakwaannya, dan sebaliknya jiwa yang syaitaniy menghasilkan kedurhakaannya. “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya); maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (kedurhakaan) dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
15. Jiwa yang ihsan
Jiwa yang senantiasa mendorong peningkatan amal-amal lebih baik ketimbang sebelumnya dan setiap amal dikerjakan seolah-olah Allah menyaksikan kinerja yang dilakukan. Orientasi utamanya adalah peningkatan amal lebih berkualitas dan bagus, seraya Tuhan menyaksikan perbuatannya itu.
Bentuk ihsan yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an, yaitu: 1) menghindari dosa-dosa besar dan perbuatan keji, 2) takwa kepada Allah, 3) bersabar 9huud/11: 115), 4) menegakkan shalat (Luqman/31: 334), 6) meyakini akan adanya hari akhir, 7) beriman, 8) penyerahan diri kepada Allah (al-Baqarah/2: 112), 9) berjihad di jalan Allah (al-Ankabut/29: 69), 10) infak (al-Baqarah/2: 195), 11) menahan amarah (Ali Imran/3: 134).
16. Jiwa yang konsisten (istiqamah)
Jiwa yang selalu merasa sadar untuk taat asas dan berpegang teguh pada apa yang diyakini, serta berpegangan pada pedoman yang ada. Jika kebenaran agama yang diyakini, maka agamalah yang dijadikan rujukannya. Jika Tuhan yang diyakini sebagai sumber ajaran, maka tuntunan-Nyalah yang diutamakannya.
Al-Qur’an mengajarkan istiqamah kepada manusia, utamanya dalam berpegang teguh pada keyakinan akan Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa. “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, tidak aka nada rasa kuatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati” (QS. al-Ahqaf/46: 13).
17. Jiwa yang bahagia
Jiwa yang merasakan suasana baik, menyenangkan, dan menggembirakan, dimana segala yang terjadi dan dirasakan dalam kehidupan sesuai dengan keinginan yang ada.
“Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, sungguh dia memperoleh kemenangan (kebahagiaan). Sedangkan kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Ali Imran/3: 185).
C. Menghidupkan Hati
Tidak semua orang yang beragama hatinya betul-betul hidup. Ada diantaranya yang hatinya mati, seolah-olah tidak berisi apa-apa. Hati disebut mati, karena tidak mampu mendorong lahirnya tindakan-tindakan ruhaniah yang lazimnya muncul dari hati yang telah beriman kepada Tuhan.
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipakai untuk melihat …” (QS. al-A’raf/7: 179).
Menurut Al-Qur’an, dan juga hadits, seorang mukmin mestilah mengembangkan cintanya untuk Allah dan RasulNya, karena Dialah yang telah memberi segalanya dan berbuat baik sesuai dengan keputusanNya yang terbaik bagi hambaNya. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang beriman (tentunya) lebih besar cintanya kepada Allah”(QS. al-Baqarah/2: 165). Tidak hanya lebih besar, tetapi juga lebih tinggi dari cinta kepada apa dan siapa pun yang pantas dicintai di dunia ini.
Cinta kepada Allah dengan berbagai konsekwensinya merupakan sesuatu yang niscaya, tidak boleh tidak, sehingga upaya pengembangan hati menuju cinta kepada Allah pastinya merupakan upaya terpuji dan mulia. Hasinya berupa kualitas cinta di hati, yang berujung pada ketaatan yang tinggi kepadaNya.
Membuka hati untuk beriman merupakan syarat mutlak untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tanpa kerelaan diri membuka hati, mustahil seseorrang bias dekat dengan Allah, karena hakekatnya ia tidak beriman kepada Allah, karena Allah tidak pernah ada dalam hatinya; Allah belum masuk dalam kalbunya. Mana mungkin manusia yang belum beriman bias dekat dengan Allah.
Kewajiban mukmin ialah menjaga hati dan iman yang terdapat di dalamnya agar produktif menghasilkan amal-amal salih. Pada sisi lain, mukmin wajib menjaga imannya agar jangan sampai campur-aduk dengan tindakan-tindakan zhalim, baik kepada Allah, sesame manusia, lingkungan, maupun kepada diri sendiri. “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur iman mereka dengan kezhaliman (terutama syirk), mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk” (QS. al-An’am/6: 82). Oleh karena itu, demi kesehatan hati, yang sekaligus kesehatan si mukmin secara keseluruhan, mukmin wajib menghilangkan penyakit-penyakit hatinya, antara lain: syirk, sikap ragu (al-syakk), sombong (al-kibr), iri, dengki (al-hasad), ‘ujub, merasa diri besar (istikbar), pengecut (al-jubn), bakhil/pelit (al-syuhh), kemunafikan (nifaq), dan lain-lain penyakit hati yang mengindikasikan lemahnya keyakinan/iman.
Membersihkan hati dengan dzikrullah, dalam arti selalu mengingat Allah, akan membuat hati bersih dan sehat serta cenderung tanggap (sensitif) mendorong terjadinya amal-amal kebajikan, dan selanjutnya amal-amal kebajikan yang dihasilkan semakin memperindah kondisi hati yang dibersihkan itu. Ada suasana timbal balik antara hati dengan amal kebajikan yang dihasilkan. “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah tergetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka bertambah kuat imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal” (QS. al-Anfal/8: 2). Keadaan selalu ingat kepada Allah karena selalu melakukan dzikrullah merupakan rem yang paling ampuh untuk tidak terjerumus ke dalam limbah nista yang mengotori, sehingga dengan begitu dzikrullah betul-betul merupakan upaya atau cara yang paling efektif dalam proses pembersihan hati/diri.
Hati yang bersih akan menerima limpahan rahmat dan cinta Allah Subhanahu wa ta’ala. Yang menerima rahmat, cinta, dan ridla Allah bukan hanya hatinya, tetapi manusia atau orang yang dalam kehidupan ini memiliki hati yang bersih.
“Orang-orang penting/ terhormat umatku tidaklah masuk surga dengan sebab banyaknya salat dan juga banyaknya puasa, tetapi yang menyebabkan mereka masuk surge adalah karena hati yang salim (bersih), kedermawanan jiwa, dan karena sifat rahmat dan kasih sayang mereka kepada kaum muslimin” (al-Hadits, dalam kitab Mukasyafat al-Qulub). Untuk mendapatkan rahmat dan surga bukanlah hanya amal ibadat saja, tetapi juga kondisi hati yang bersih-suci, kemampuan nyata dalam menyebarkan rahmat dan kasih sayang dirinya kepada orang banyak, dan jiwa yang dermawan.
Untuk meraih cinta Allah (hub Allah), kita mesti mengembangkan cinta kita kepada Allah. “Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Ali Imran/3: 31).
D. Pesan Membumikan Al-Qur’an
“. . . Dan Kami turunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri” (QS. al-Nahl/16: 89), ditambah penegasan firmanNya: maa farrathna fi al-kitab min syai’ (tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam al-kitab) (QS, al-An’am/6: 38).
Berdasarkan penjelasan di atas, apa pun yang dibutuhkan manusia dalam hidup dan kehidupannya, ada dalam Al-Qur’an. Dengan begitu, Al-Qur’an semacam kekayaan yang sempurna akan dengan mudah memenuhi segala kebutuhan manusia, dahulu, sekarang, dan nanti. Al-Qur’an telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, dan tuntunan untuk masalah mental dan moral untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Upaya manusia untuk melanggengkan Al-Qur’an dan membumikan ajarannya, bukan saja melalui upaya memelihara otensitasnya, dengan hafalan, tulisan dan rekaman tetapi juga dengan memahami pesan-pesannya yang harus disesuaikan dengan perkembangan positif masyarakat tanpa menyimpang dari teks atau keluar dari Ushuluddin (prinsip-prinsip pokok ajaran agama).
“Maka, apakah mereka tidak mendalami Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu (atau kitab apa pun) bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya” (QS. al-nisa/4: 82). Dalam Al-Qur’an tidak tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Yang cukup menonjol dari Al-Qur’an adalah al-wahdat al-qur’aniyyah (kesatupaduan Al-Qur’an), kata Sa’id Hawwa, dalam Tafsir Al-Asas.
Oleh karena itu orisinalitas Al-Qur’an tidak cukup hanya dibanggakan sebagai kitab suci yang masih asli, tetapi hendaknya juga mendorong umat Islam untuk mengamalkannya dalam hidup keseharian agar hidup ini lurus dan maju, berkemajuan berdasarkan cahaya petunjuk Allah dalam Al-Qur’an. Dan juga agar bumi yang disediakan Tuhan untuk tempat tinggal sementara manusia betul-betul diwarnai olrh pengalaman titah-titah Tuhan dalam Al-Qur’an. Alangkah indahnya keadaan bumi yang memperoleh cahaya Tuhan, baik cahaya dalam makna yang sebenarnya maupun cahaya dalam arti metafor, yakni cahaya Al-Qur’an.
Dalam tafsir Departemen Agama RI dijelaskan tingkatan-tingkatan orang mukmin yang mengamalkan Al-Qur’an, yaitu:
1. Zhalimun li nafsih (orang yang zalim kepada dirinya). Maksudnya orang yang mengerjakan perbuatan wajib dan juga tidak meninggalkan perbuatan yang haram.
2. Muqtashid, yakni orang-orang yang melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan larangan-laranganNya, tetapi kadang-kadang ia tidak mengerjakan perbuatan yang dipandang sunnah atau masih mengerjakan sebagian pekerjaan yang dipandang makruh.
3. Sabiqun bi al-khairat, yaitu orang yang selalu mengerjakan amalan yang wajib dan sunnah, meninggalkan segala perbuatan yang haram dan makruh, serta sebagian hal-hal yang mubah.
Ke dalam kelompok mana pun seorang muslim masuk, tetapi yang pasti, selain nabi, semuanya belum optimal dalam melaksanakan atau membumikan Al-Qur’an. Masih banyak kesempatan dan peluang untuk mengoptimalkannya, baik dalam aspek ibadat maupun muamalat yang amat luas.